Selasa, 01 Desember 2009

TINJAUAN HADIAH SECARA SYARIAT


Penulis Dr. Riyadh bin Muhammad al-Musaimiri_November 13, 2009


PEMBAHASAN PERTAMA

PENGERTIAN HADIAH SECARA BAHASA DAN ISTILAH

Pertama: Pengertian Hadiah Secara Bahasa

Al-Fayyumi dalam al-Mishbahul Munir berkata, “Hadaytu (aku berikan atau aku hadiahkan) pengantin wanita itu kepada suaminya, maka pengantin wanita itu disebut ‘Hadiyy’ dan ‘Hadiyyah’. Jika dijadikan kalimat pasif maka dikatakan, ‘Hudiyat’ (dia diberikan, dihadiahkan) maka wanita itu disebut ‘Mahdiyyah’. Dan perkataan ‘Ahdaytuha’ (aku menghadiahkannya) dengan alif, adalah bahasanya Qais Ailan. Maka wanita itu disebut ‘Muhdaah’… Sedangkan perkataan ‘Ahdaytu lirrojul’ – juga dengan alif – maknanya aku mengirimkannya kepada dia untuk memuliakan, maka disebut ‘Hadiyyah’ dengan ditasydidkan (huruf “yaa”) bukan yang lain.” [Lihat al-Mishbahul Munir, pada unsur kata Haa-Daa-Yaa]

Kedua: Pengertian Hadiah Menurut Istilah

Adapun definisi hadiah secara istilah adalah, “Pelimpahan kepemilikan ketika masih hidup tanpa ada ganti.” [Lihat al-Mughni 8/239]

Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab 15/370 dikatakan, “Hibah, athiyyah, hadiyyah, dan shodaqoh, memiliki kemiripan makna. Semuanya bermakna pelimpahan kepemilikan ketika masih hidup tanpa ada ganti. Dan istilah athiyyah mengandung makna yang mencakup semua istilah tersebut, demikian pula dengan hibah.

Sedangkan shodaqoh dan hadiah memiliki perbedaan makna. Karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – mau makan hadiah namun tidak mau makan shodaqoh.”

PEMBAHASAN KEDUA:

DALIL HADIAH DAN HUKUMNYA MENURUT SYARIAT

Pertama: Dalil Hadiah Dalam Syariat

Telah ada penyebutan hadiah dalam al-Qur`an al-Karim dalam surat an-Naml di sela-sela menyampaikan kisah Sulaiman – alaihissalam – bersama Ratu Saba, Bilqis. Sebagaimana dalam firman-Nya,

وَإِنِّي مُرْسِلَةٌ إِلَيْهِمْ بِهَدِيَّةٍ فَنَاظِرَةٌ بِمَ يَرْجِعُ الْمُرْسَلُونَ

“Dan sesungguhnya aku akan mengirim utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah, dan (aku akan) menunggu apa yang akan dibawa kembali oleh utusan-utusan itu.” (an-Naml: 35)

Nabi Sulaiman – alaihissalam – enggan menerima hadiah tersebut dan memerintahkan untuk mengembalikannya karena beliau merasa bahwa Ratu Saba mengirimkan hadiah itu untuk membujuk beliau agar pergi menyingkir darinya dan kaumnya. Allah berfirman tentang perkataan Sulaiman,

ارْجِعْ إِلَيْهِمْ فَلَنَأْتِيَنَّهُمْ بِجُنُودٍ لا قِبَلَ لَهُمْ بِهَا وَلَنُخْرِجَنَّهُمْ مِنْهَا أَذِلَّةً وَهُمْ صَاغِرُونَ

“Kembalilah kepada mereka sungguh kami akan mendatangi mereka dengan balatentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba) dengan terhina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina.” (an-Naml: 37)

Dan nampaknya, Nabi Sulaiman – semoga sholawat dan salam tetap tercurah kepada beliau dan kepada Nabi kita – akan menerima hadiah itu jika tidak ada unsur tawar-menawar dan bujuk rayu. Al-Qurthubi dalam tafsirnya (13/132) berkata, “Dahulu Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – menerima hadiah dan memberi pahala atasnya. Begitu pula Sulaiman dan seluruh para Nabi – alaihimussalam –.”

Adapun (dalil dari) sunnah, maka telah banyak nash mutawatir yang menyebutkan hadiah. Di antaranya:

* Hadits Anas – rodhiyallohu ‘anhu – dalam ash-Shahih, “Bahwa ada seorang perempuan Yahudi yang memberi hadiah kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – berupa daging kambing yang beracun.” (Muttafaq ‘alaih)

* Hadits Aisyah – rodhiyallohu ‘anha – dalam ash-Shahih juga, “Bahwa Barirah memberi hadiah berupa daging kepada Aisyah.” (Muttafaq ‘alaih)

* Dan dari Aisyah – rodhiyallohu ‘anha – berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya aku memiliki dua tetangga, maka kepada yang manakah aku memberi hadiah? Beliau menjawab, “Kepada yang paling dekat pintunya.” (Riwayat al-Bukhari)

Kedua: Hukum Hadiah

Menurut para ulama hadiah hukumnya mustahab (sunnah, disukai) sebagaimana disebutkan oleh Ibnu Qudamah dalam al-Mughni (8/239). Dan hukum mustahab ini ditunjukkan oleh sabda beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam –

“Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian saling mencintai.” [1]

Maka hadiah akan mendatangkan dan menumbuhkan rasa cinta dan kebahagiaan antara orang yang saling memberi hadiah. Al-Qurthubi berkata (13/132), “Hadiah disukai untuk dilakukan. Karena hadiah termasuk perkara yang bisa membuahkan kecintaan dan menghilangkan permusuhan.” Beliau berkata, “Dan di antara keutamaan hadiah dengan disertai ittiba’ (peneladanan) kepada sunnah, bahwa hadiah akan menghilangkan dendam dalam jiwa, dan akan membuahkan bagi orang yang memberi hadiah dan diberi hadiah rasa rindu untuk berjumpa dan duduk bersama pada diri.”

Dalam al-Majmu’ Syarh al-Muhadzdzab (15/367) dikatakan, “Hibah disukai untuk dilakukan, berdasarkan riwayat Aisyah – rodhiyallohu ‘anha – bahwa Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian akan saling mencintai.”

Ketiga: Hukum Menerima Hadiah Dari Seorang Musyrik

Para ulama telah berselisih tentang hukum menerima hadiah dari seorang musyrik untuk seorang muslim, menjadi dua pendapat:

Pendapat pertama: bolehnya menerima hadiah dari seorang musyrik. Mereka berdalil dengan dalil yang banyak, di antaranya:

1. Hadits Anas yang shahih, “Bahwa ada seorang perempuan Yahudi yang memberi hadiah kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – berupa daging kambing yang beracun.” Muttafaq ‘alaih.
2. Dan al-Bukhari dalam ash-Shahih meriwayatkan dari Abu Humaid, “Dan Raja Ailah memberi hadiah kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – seekor bighal putih dan menutupinya dengan kain bergaris…”
3. Al-Bukhari dan Muslim mengeluarkan hadits dari Abdurrahman bin Abi Bakr – rodhiyallohu ‘anhuma –, “Dahulu kami bersama Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – berjumlah seratus tiga puluh orang. Lalu Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Apakah di antara kalian ada yang membawa makanan?” Maka ternyata ada seorang yang membawa satu sha’ makanan atau semisalnya, lalu dibuatlah adonan. Kemudian datang seorang musyrik yang tinggi dan berambut kusut membawa seekor kambing. Lalu Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Apakah dijual ataukah athiyyah (untuk diberikan)?” atau beliau bersabda, “ataukah hibah?” Orang itu berkata, tidak, ini dijual…” sampai seterusnya hadits.

Sisi pendalilan:

Sabda beliau, “Apakah dijual ataukah athiyyah?” dalam lafazh lain “ataukah hibah?” ini menunjukkan bolehnya menerima hadiah dari seorang musyrik, karena hadiah satu kedudukan dengan hibah dan athiyyah. Ibnul Qayyim dalam Zadul Ma’ad (1/122) berkata, “al-Muqauqis, raja Iskandariah memberikan hadiah kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – Mariah dan dua orang saudara perempuannya, Sirin dan Qaisara. Lalu beliau menjadikan Mariah sebagai selir dan menghibahkan Sirin kepada Hassan bin Tsabit. Dia juga menghadiahkan kepada beliau budak wanita lain bersama dengan seribu mitsqal emas dan yang lain.” Selesai perkataan beliau secara ringkas.

Pendapat kedua: tidak bolehnya menerima hadiah seorang musyrik.

Mereka berdalil dengan hadits Iyadh bin Himar – rodhiyallohu ‘anhu – bahwa dia menghadiahkan kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – sebuah hadiah atau seekor onta. Maka Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Apakah engkau telah masuk Islam?” dia berkata, tidak. Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda,

إِنِّي نُهِيْتُ عَنْ زَبْدِ الْمُشْرِكِينَ

“Sesungguhnya aku dilarang (menerima) pemberian orang-orang musyrik.” Diriwayatkan oleh Ahmad, Abu Daud, at-Tirmidzi dan dia menshahihkannya.

Asy-Syaukani berkata dalam Nailul Authar (6/4), “Dalam permasalahan ini ada riwayat dari Abdurrahman bin Ka’b bin Malik, pada riwayatnya Musa bin Aqabah dalam al-Maghazi, bahwa Amir bin Malik yang dijuluki si jago tombak, datang kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – ketika dia masih musyrik lalu memberi hadiah kepada beliau. Maka Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – bersabda, “Sesungguhnya aku tidak menerima hadiah dari seorang musyrik.”

Al-Hafizh dalam al-Fath (5/273) berkata, “Hadits ini para perawinya adalah orang-orang yang tsiqah, hanya saja sanadnya mursal. Dan sebagian ulama memaushulkan hadits ini dari Zuhri tapi tidak shahih.” Selesai perkataan beliau.

Aku katakan, asy-Syaukani menukil dari al-Khatthabi yang nashnya sebagai berikut:

“Ada dua sisi (alasan) kenapa hadiah dari Iyadh ini ditolak: Pertama, karena untuk membuatnya marah dengan ditolaknya hadiah itu sehingga diapun marah karenanya lalu hal itu akan mendorongnya untuk memeluk agama Islam. (Alasan) yang lain, karena hadiah memiliki tempat dalam hati, dan telah diriwayatkan suatu hadits, “hendaknya kalian saling memberi hadiah, niscaya kalian saling mencintai.” Dan tidak boleh bagi beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memiliki kecondongan hati kepada seorang musyrik. Maka beliau pun menolak hadiah tersebut untuk mematahkan sebab kecendongan hati.”

Aku katakan, di hadapan dalil-dalil yang nampak bertentangan ini, sebagian ulama telah menempuh jalan jamak (memadukan antara dalil-dalil yang nampak bertentangan –pent) dan sebagian ulama lain menempuh jalan naskh (menjadikan dalil yang datang belakangan di antara dalil-dalil yang bertentangan itu sebagai dalil yang menghapus hukum dalil lainnya –pent). Mereka mengatakan, dalil-dalil yang membolehkan menghapus hukum dalil-dalil yang melarang. Dan berikut ini penjelasannya:

Ibnu Hajar (5/273) berkata, “Ath-Thabari menjamak antara dalil-dalil itu – yaitu yang membolehkan dan yang melarang – bahwa penolakan hadiah itu berkenaan dengan hadiah yang khusus diberikan kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Sedangkan penerimaan hadiah berkenaan dengan hadiah yang diberikan kepada kaum muslimin. Namun sisi pemaduan seperti ini harus diteliti kembali, karena di antara berbagai dalil yang membolehkan, ada dalil yang menyebutkan hadiah itu diberikan khusus kepada beliau. Ulama lain memadukannya dengan penjelasan bahwa penolakan itu berkaitan dengan orang musyrik yang bermaksud untuk menumbuhkan rasa cinta dan loyalitas dengan hadiah itu. Sedangkan penerimaan itu berkaitan dengan orang musyrik yang diharapkan bisa tertarik hatinya untuk masuk Islam. Dan cara pemaduan seperti ini lebih kuat dari pada cara yang pertama. Ada juga yang mengatakan, penerimaan hadiah itu jika pemberi hadiah adalah ahlul kitab, dan penolakan hadiah jika pemberi hadiah itu adalah penyembah berhala. Ada juga yang berpendapat bahwa penolakan itu berlaku bagi selain beliau dari kalangan para penguasa, dan bahwa hal itu merupakan kekhususannya. Ulama lain ada yang mengklaim terhapusnya hukum penolakan hadiah dengan hadits-hadis tentang penerimaan hadiah. Yang lain mengklaim sebaliknya. Tiga jawaban ini adalah jawaban-jawaban yang lemah, karena naskh (penghapusan hukum dari suatu dalil –pent) tidak bisa ditetapkan dengan kemungkinan-kemungkinan atau dengan pengkhususan.” Selesai.

Aku katakan, klaim adanya naskh yang ditolak oleh Ibnu Hajar – rohimahulloh – ini telah ditetapkan oleh ulama lain seperti Ibnu Hazm dalam al-Muhalla (9/159) yang mengatakan, “Jika ada yang bertanya, bagaimana menurutmu dengan hadits yang Anda riwayatkan dari jalan Ibnu Syikhir dari Iyadh bin Himar bahwa dia memberi suatu hadiah kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam – lalu beliau bersabda, “apakah engkau telah masuk Islam?” aku (Iyadh) berkata, belum. Lalu beliau bersabda, “Sesungguhnya aku dilarang (menerima) pemberian orang-orang musyrik.” Juga dari jalan al-Husain dari Iyadh bin Himar hadits yang semisalnya. Dan dia berkata, beliau enggan menerimanya. Al-Hasan berkata, ‘zabdul musyrikin’ maknanya adalah pemberian dari mereka.

Maka kita jawab, hadits ini mansukh dengan riwayat hadits dari Abu Humaid yang telah kami sebutkan. Karena riwayat ini (riwayat dari Abu Humaid –pent) terjadi ketika peristiwa perang Tabuk sedangkan masuk Islamnya Iyadh adalah sebelum Tabuk. Dan taufik hanyalah dari Allah.”

Kami katakan, demikian pula yang berpendapat adanya naskh adalah al-Imam al-Khatthabi – rohimahulloh – dalam ta’liqnya terhadap Sunan Abi Daud. Lihat Fiqhus Sunnah karya Sayyid Sabiq – rohimahulloh – (3/537).


PEMBAHASAN KEEMPAT:

MEMBERI HADIAH KEPADA ORANG MUSYRIK

Hukum asal memberi hadiah kepada orang musyrik adalah boleh. Tentangnya, telah ada beberapa hadits yang shahih. Di antaranya:

Asy-Syaikhan (al-Bukhari dan Muslim) mengeluarkan hadits Ibnu Umar, dia berkata, Umar melihat pakaian sutra yang dijual oleh seseorang. Lalu dia pun berkata kepada Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –, belilah pakaian ini untuk Anda pakai pada hari Jum’at dan jika ada utusan yang mendatangimu. Beliau menjawab,

إنما يلبس هذا من لا خلاق له في الآخرة

“Sesungguhnya yang memakai ini hanyalah orang yang tidak akan mendapat bagian di akhirat.”

Lalu beliau diberi beberapa pakaian sutra, dan beliau mengirimkan satu darinya kepada Umar. Maka Umar berkata, bagaimana aku akan memakainya, sedangkan Anda telah mengatakan tentangnya apa yang telah Anda katakan? Beliau bersabda, “Sesungguhnya aku tidak memberimu ini kepadamu untuk engkau pakai… engkau bisa menjualnya atau memberikannya (kepada orang lain).” Lalu Umar mengirimkan pakaian itu kepada saudaranya, seorang penduduk Mekah, sebelum dia masuk Islam.

An-Nawawi berkata dalam Syarh Shahih Muslim, “(Dalam hadits ini ada dalil akan) bolehnya seorang muslim memberi hadiah kepada seorang musyrik sebuah pakaian dan yang lain.”

Keduanya (al-Bukhari dan Muslim) juga meriwayatkan hadits dari Asma binti Abu Bakr, dia berkata, “Wahai Rasulullah, ibuku mendatangiku”. Dan dia (ibunya) waktu itu dalam keadaan musyrik pada masa Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Maka aku pun meminta fatwa kepada Rasulullah – shollallohu ‘alaihi wa sallam –. Dia berkata, wahai Rasulullah, sesungguhnya ibuku mendatangiku dengan harapan (mendapatkan kebaikan dariku). Apakah aku menyambung hubungan dengan ibuku? Beliau bersabda, “Iya, sambung hubungan dengan ibumu.”

Aku katakan, pada dalil-dalil ini dan yang lainnya terdapat pelajaran bolehnya memberi hadiah kepada seorang musyrik atau kafir, dengan ketentuan-ketentuan yang akan disebutkan berikut ini – insyaAlloh.

PEMBAHASAN KELIMA:

KETENTUAN UNTUK MENERIMA HADIAH DARI ORANG-ORANG MUSYRIK DAN MEMBERI HADIAH KEPADA MEREKA

1. Jangan sampai penerimaan hadiah dari mereka atau pemberian hadiah kepada mereka ini menimbulkan rasa cinta dan kasih kepada mereka. Karena Allah telah berfirman,

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ وَلَوْ كَانُوا آبَاءَهُمْ أَوْ أَبْنَاءَهُمْ أَوْ إِخْوَانَهُمْ أَوْ عَشِيرَتَهُمْ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya, sekalipun orang-orang itu bapak-bapak, atau anak-anak atau saudara-saudara ataupun keluarga mereka…” (al-Mujadilah: 22)

2.Hendaknya hadiah itu tidak sama dengan suap. Seperti misalnya, orang yang diberi hadiah, diberi hadiah karena dia telah menduduki suatu jabatan, kedudukan atau tugas, yang mana hadiah itu dimaksudkan untuk menuntaskan tujuan yang tidak syar’i seperti mewujudkan kebatilan atau membatalkan kebenaran.

Al-Jashshosh dalam tafsirnya (2/234) berkata mengomentari hadits Ibnu Lutbiyyah yang masyhur, “Dan makna ini telah ditunjukkan oleh sabda Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam –

هلا جلس في بيت أبيه وأمه فنظر أيهدى له أم لا؟

“Hendaknya dia duduk saja di rumah bapak atau ibunya, lalu melihat apakah dia akan diberi hadiah atau tidak?”

Maka beliau memberitakan bahwa dia diberi hadiah hanyalah karena dia sebagai pegawai. Jika saja dia bukan seorang pegawai tentu tidak akan diberi hadiah. Dan telah diriwayatkan bahwa putri raja Romawi memberi hadiah kepada Umi Kultsum putri Ali, istri Umar; maka Umar pun mengembalikannya dan melarang menerimanya.” Selesai.

3.Hendaknya hadiah itu tidak digunakan sebagai alat bantu suatu kebatilan, seperti kesyirikan, kekafiran, bid’ah atau maksiat. Misalnya, hadiah berupa salib atau lilin untuk orang Nasrani dalam perayaan-perayaan mereka dan yang lainnya, atau seperti menghadiahkan alat musik dan lagu dan semisalnya.

Semakna dengan ini, tidak boleh memberi hadiah kepada orang kafir dan musyrikin dalam perayaan-perayaan mereka agar tidak menjadi pendorong dan penetapan bagi mereka atas kebatilan mereka. Jika pemberian hadiah itu dilakukan pada hari raya mereka dengan pengagungan terhadap hari itu, maka ini adalah bahaya yang sangat besar.

Abu Hafsh al-Hanafi berkata, “Barangsiapa memberi hadiah sebuah telur padanya kepada seorang musyrik dengan pengagungan terhadap hari itu maka dia telah kafir kepada Allah ta’ala.” (Fathul Bari 2/315)

4.Hendaknya ada persangkaan yang dominan akan adanya maslahat dalam pemberian hadiah itu kepada seorang kafir atau dalam penerimaan hadiah itu darinya. Seperti untuk melunakkan hatinya agar mau masuk Islam dan menjadikan dia mencintai agama Islam.

Asy-Syari’ al-Hakim (Pembuat syariat yang Maha bijaksana) telah menjadikan salah satu objek pemberian harta zakat adalah dengan memberikannya kepada orang-orang yang diharapkan hatinya condong kepada Islam. Padahal zakat adalah suatu kewajiban. Lalu bagaimana lagi dengan hadiah yang hukum asalnya adalah mandub (sunah, disukai)?

5.Hendaknya pemberian hadiah kepada orang kafir atau penerimaan hadiah darinya tidak menimbulkan mafsadat (kerusakan) yang nyata seperti munculnya kesombongan dan perasaan tinggi orang kafir tersebut. Atau hadiah yang berlebih-lebihan kepada orang kafir, karena keumuman larangan berbuat kemubadziran.

6.Hendaknya pemberian hadiah kepada orang kafir tidak menimbulkan hilangnya maslahat yang lebih besar, seperti menutupi kebutuhan seorang muslim yang sangat membutuhkan. Karena memulai sesuatu dengan yang paling penting lalu yang di bawahnya, adalah manhaj (jalan) yang disyariatkan yang bijaksana dan menyeluruh.

Hal ini ditunjukkan oleh hadits pengutusan Mu’adz – rodhiyallohu ‘anhu – menuju Yaman ketika beliau – shollallohu ‘alaihi wa sallam – memberi wasiat kepadanya dengan sabdanya,

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله فإن هم أطاعوك لذلك فأعلمهم أن الله قد افترض عليهم خمس صلوات في اليوم والليلة الحديث

“Hendaknya yang pertama kali kamu dakwahkan kepada mereka adalah syahadat Laa ilaaha illalloh. Jika mereka menaatimu untuk hal itu, maka beritahukan kepada mereka bahwa Allah mewajibkan kepada mereka sholat lima waktu sehari semalam…” dan seterusnya hadits.

PEMBAHASAN KEENAM:

DEFINISI UCAPAN SELAMAT SECARA BAHASA DAN ISTILAH

Pertama: Pengertian Ucapan Selamat Secara Bahasa

Al-Fairuz Abadi dalam al-Qamus berkata, “al-Hanii` dan al-Mahna` adalah sesuatu yang mendatangimu tanpa kesulitan… dan kata Hanna`a – Tahni`atan – Tahnii`an adalah lawan kata dari ‘Azzaahu (mengucapkan bela sungkawa)…” (Lihat al-Qamus pada kata Hanii`)

Kedua: Pengertian Ucapan Selamat Secara Istilah

Pengertian ucapan selamat secara istilah bisa diartikan dengan, perkataan lembut yang diucapkan seseorang kepada orang lain pada peristiwa yang membahagiakan dan kebahagiannya nampak karena peristiwa tersebut.

PEMBAHASAN KETUJUH:

HUKUM MENERIMA UCAPAN SELAMAT DARI ORANG KAFIR UNTUK KAUM MUSLIMIN

Perkaranya tidak lepas dari dua keadaan:

1. Mereka memberikan ucapan selamat kepada kita pada hari raya kita dan pada peristiwa yang khusus. Maka – yang nampak bagiku – hal ini tidak ada perselisihan akan disyariatkannya menerima ucapan selamat itu. Karena mereka memberi ucapan selamat kepada kita dengan sesuatu yang disyariatkan pada pokok agama kita. Dan hal ini dengan ketentuan-ketentuan yang nanti akan disebutkan – insyaAlloh.

2.Mereka memberikan ucapan selamat dengan sebab hari raya dan peristiwa-peristiwa keagamaan mereka. Jika mereka melakukannya, maka kita tidak menjawab mereka, karena hal itu tidak disyariatkan dan dengan menerima ucapan selamat itu berarti ada pengakuan untuk mereka atas kebatilan mereka.

Dan pada perkataan Syaikh Ibnu Utsaimin yang dinukil dalam pembahasan ini ada hal yang bisa menenangkan berkaitan dengan pendapat kami ini. Maka hendaknya dilihat kembali.

PEMBAHASAN KEDELAPAN:

HUKUM MEMBERI UCAPAN SELAMAT KEPADA ORANG KAFIR

Para ulama telah berselisih tentang hukum memberi ucapan selamat kepada orang kafir. Sebagian mereka berpendapat hal itu dilarang, dan sebagian lainnya berpendapat hal itu boleh.

Ibnu Qudamah dalam al-Muqni’ berkata, “Tentang ucapan selamat, belasungkawa dan menengok (yang sakit dari) mereka ada dua riwayat. Dikatakan dalam Syarh (penjelasannya), “Pemberian ucapan selamat dan belasungkawa keluar atas dasar (hukum) menengok mereka. Dan tentangnya ada dua riwayat. Pertama, kita tidak boleh menengok mereka; karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – melarang memulai mengucapkan salam kepada mereka. Dan ini semakna dengannya. Dan yang kedua, bolehnya hal itu; karena Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – pernah mendatangi seorang anak Yahudi yang sedang sakit, beliau menjenguknya lalu duduk di dekat kepalanya. Beliau berkata kepadanya, “Masuk Islamlah.” Lalu anak itu melihat kepada bapaknya yang berada di dekat kepalanya. Lalu bapaknya berkata, taatilah Abu Qasim (Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – pent). Lalu dia pun masuk Islam. Maka Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – berdiri dan bersabda,

الحمد لله الذي أنقذه بي من النار

“Segala puji hanya bagi Allah yang telah menyelamatkannya dari neraka dengan sebab aku.” (Riwayat al-Bukhari.” Lihat al-Muqni’ dengan Syarhnya) (10/456)

Adapun pemberian ucapan selamat kepada orang kafir dalam perkara adat yang tidak memiliki hubungan dengan akidah dan agama, seperti ucapan selamat karena melahirkan, atau karena telah selamat kembali dari safar, atau yang semacamnya, maka hukum asalnya adalah boleh. Berdasarkan firman Allah ta’ala,

Allah tidak melarang kamu berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak mengusirmu.Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang berlaku adil (QS.Al mumtahanah ayat 8 )

Juga karena kelahiran seorang anak adalah berada di atas fitrah yaitu Islam. Maka barangkali anak yang keluar dari sulbi orang kafir ini akan menjadi hamba yang beribadah kepada Allah. Dan Nabi – shollallohu ‘alaihi wa sallam – telah bertindak secara pelan-pelan (tidak tergesa-gesa) terhadap kaumnya, beliau tidak memerintahkan malaikat gunung untuk menimpakan dua gunung kepada mereka. Dan beliau bersabda,

أرجو أن يخرج الله من أصلابهم من يعبد الله

“Aku berharap Allah mengeluarkan dari sulbi mereka orang-orang yang menyembah Allah.” (Asal hadits ini ada pada Shahih Muslim dan yang lainnya)

Dan yang semisal dengan itu adalah ucapan selamat karena telah sampai dengan selamt dari perjalanan. Maka barangkali keluasan dalam hukum asal ini dan dalam ucapan selamat adalah sebagai pelembut hatinya dan pendorong baginya untuk masuk Islam.

Adapun ucapan selamat kepada mereka dengan sesuatu yang berpengaruh terhadap akidah baro` (wajibnya berlepas diri dan memusuhi –pent) terhadap orang kafir, maka hukumnya harom, tidak boleh. Berdasarkan keumuman firman Allah ta’ala,

لا تَجِدُ قَوْمًا يُؤْمِنُونَ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ يُوَادُّونَ مَنْ حَادَّ اللَّهَ وَرَسُولَهُ

“Kamu tak akan mendapati kaum yang beriman pada Allah dan hari akhirat, saling berkasih-sayang dengan orang-orang yang menentang Allah dan Rasul-Nya.” (al-Mujadilah: 22)

Dan termasuk hal itu adalah ucapan selamat kepada mereka dengan syiar-syiar kekufuran yang menjadi kekhususan mereka, maka ini haram berdasarkan kesepakatan (para ulama) sebagaimana disebutkan oleh Ibnul Qayyim dalam Ahkam Ahlidz Dzimmah (1/144).

Adapun jika mereka memberikan ucapan selamat kepada kita dengan perayaan-perayaan mereka, maka Syaikh Ibnu Utsaimin – rohimahulloh – telah mengatakan, “Maka kita tidak menjawab mereka; karena perayaan itu bukanlah perayaan kita. Dan karena perayaan itu tidak Allah ridhai, karena perayaan itu kemungkina pertama adalah perkara baru yang diada-adakan dalam agama mereka, dan kemungkinan kedua adalah perkara yang disyariatkan namun telah dihapus dengan agama Islam.” selesai perkataan beliau secara ringkas dari Majmu’ al-Fatawa 3/69.

PEMBAHASAN KESEMBILAN

KETENTUAN-KETENTUAN DALAM UCAPAN SELAMAT

1- Ucapan selamat itu tidak menimbulkan kecenderungan hati dan tumbuhnya kecintaan – sebagaimana ketentuan yang telah berlalu tentang hadiah – baik ucapan selamat ini dari kita ataupun dari mereka.

2- Hendaknya ucapan selamat kepada orang kafir itu bukan disebabkan oleh kesyirikan, kekafiran, kebid’ahan atau kefasikan. Seperti orang yang memberi ucapan selamat kepada orang kafir karena perayaan mereka terhadap kelahiran al-Masih (perayaan natal), atau karena perayaan hari raya kebangsaan. Karena dalam ucapan selamat itu ada pengakuan terhadap kesyirikan dan kebid’ahan.

3- Hendaknya ucapan selamat kepada orang kafir ini tidak dimulai dengan salam, berdasarkan hadits yang shahih,

لا تبدؤوا اليهود والنصارى بالسلام…

“Janganlah kalian memulai mengucapkan salam kepada orang-orang Yahudi dan Nashara…”

4- Jangan sampai ucapan selamat kepada orang kafir itu mengandung pengagungan atau penghormatan kepadanya, berdasarkan hadits yang shahih,

لا تقولوا للمنافق يا سيد

“Janganlah kamu berkata kepada orang munafiq, wahai Tuan...” al-hadits.

5- Hendaknya ucapan selamat ini bukan karena syiar-syiar kekafiran yang menjadi kekhususan mereka. Ibnul Qayyim dalam Ahkamu Ahlidz Dzimmah (1/144) berkata, “Dan adapun ucapan selamat karena syiar-syiar kekafiran yang menjadi kekhususannya, maka haram menurut kesepakatan (ulama). Seperti mengucapkan selamat karena perayaan-perayaan mereka dan puasa mereka, lalu berkata, ‘hari raya yang diberkahi untukmu’, atau berkata, ‘bergembiralah dengan hari raya ini’, dan semisalnya. Maka semacam ini, meskipun pengucapnya selamat dari kekafiran akan tetapi perbuatan ini adalah termasuk perkara haram. Dan semacam ini sama kedudukannya dengan ucapan selamat kepadanya karena sujudnya kepada salib. Bahkan hal itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan lebih dimurkai dari pada ucapan selamat karena minum khamr, membunuh jiwa, berzinah dan semacamnya. Dan banyak orang yang tidak memiliki penghormatan terhadap agama terjerumus ke dalam hal itu sedangkan dia tidak mengetahui keburukan perbuatannya. Maka barangsiap memberi ucapan selamat kepada seorang hamba karena dia telah berbuat maksiat atau karena kebid’ahan atau karena kekafiran, maka dia telah menghadapi kemurkaan dan kemarahan Allah.” Adapun jika mereka memberi ucapan selamat kepada kita dengan perayaan-perayaan mereka, maka kita tidak menjawab mereka karena dalam hal tersebut ada pengakuan untuk mereka dan ada keridhaan terhadap mereka. Dan semacam ini pula fatwa al-Allamah Ibnu Utsaimin dalam Fatawa beliau (3/54).

6- Hendaknya ucapan selamat kepada orang kafir ini bukan karena mereka menduduki suatu jabatan. Karena hal ini termasuk bentuk kecondongan kepada mereka dan loyalitas kepada mereka. Allah berfirman,

Dan bukan termasuk petunjuk salaful ummah, memberikan ucapan selamat kepada orang-orang kafir karena jabatan dan tugas mereka, dari perkara yang diada-adakan oleh orang-orang pada zaman ini, wallohul musta’an. Al-’Allamah Syaikh Hamud al-Uqola – rohimahulloh – berkata, “Sesungguhnya pemberian ucapan selamat kepada orang-orang kafir dan mendoakan berkah kepada mereka karena mereka menempati suatu jabatan adalah perkara yang diharamkan secara syar’i. Karena hal itu merupakan bentuk kecondongan kepada mereka dan loyalitas kepada mereka…” selesai perkataan beliau secara ringkas dari Shaidul Fawaid ‘ala asy-Syabkah al-Alamiyah.

Inilah yang bisa dikumpulkan, dan semoga Allah senantiasa mencurahkan sholawat kepada Muhammad, keluarga dan para sahabat beliau.

Sumber :http://islamlight.net/index.php?option=content&task=view&id=504&item

Tidak ada komentar:

Posting Komentar